Jumat, 19 Februari 2010

Untuk Frère dengan banyak Cinta

Mereka semua berdatangan.
Mereka mencoba membuatku tertawa.
Mereka mengajakku bermain.
Sebagian bermain untuk bersenang-senang dan sebagian untuk dikenang.
Dan kemudian mereka pergi.
Meninggalkan aku di tengah reruntuhan permainan.
Tanpa tahu yang mana harus dikenang dan yang mana untuk sekedar bersenang-senang dan meninggalkanku dengan gema dari tawa yang bukan milikku.

Lalu, kau datang.
Dengan caramu yang lucu.
Tidak seperti orang lain.
Dan kau membuatku menangis.
Dan tampaknya kau tidak peduli meski aku menangis.
Kau bilang permainan sudah selesai.
Dan menunggu sampai seluruh air mataku berubah menjadi kegembiraan.




Dear Frère.

Aku tidak tahu bagaimana memulainya, tapi kupikir aku ingin bunuh diri.  Aku sudah memegang pil-pil itu.  Pil-pil itu sudah ada di sini dan yang harus kukerjakan hanya tinggal menulis surat ini. Aku merasa begitu sendirian, Frère.  Tampaknya tidak ada yang beres bagiku dan aku sudah lelah sekali mencoba.  Inilah satu-satunya tindakan yang masuk akal.

Aku ingin menulis ini dulu untukmu.  Aku ingin mengucapkan terima kasih atas semua yang telah kamu lakukan untukku.  Aku tahu kamu sudah bersusah payah berkali-kali dan aku merasa terhormat membayangkan bahwa kamu mau melakukan itu.  Aku ingin kau tahu bahwa aku selalu merasa berterima kasih.  Aku menyesal bahwa segala sesuatunya tidak ada yang beres.  


Dengan Penuh Cinta, Ilonk




Dear, Frère.

Sudah lama aku ingin menulis surat padamu, tapi setelah suratku yang terakhir aku tidak tahu bagaimana memulainya.  Maafkan aku.  Tapi, aku masih di dunia ini.

Aku kirimkan padamu surat-surat ini.  Aku ingin mengirimkannya pada "dia" (kau tahu, frère yang lain),  tapi aku tidak tahu di mana dia berada, jadi aku kirimkan saja semuanya padamu.  Kuharap kamu tidak keberatan.




Minggu, 14 Februari 2010

Kemana?

Pagi menyampaikan waktu adalah 19 November 2008.
Hingga senja menyapa hati masih bertanya dalam harap.
          Kemana?

Kesendirian tak hancurkan penantian yang berakhir luka.
Hati luka lagi.
          Kemana?

Malam menjelang.
Hati tak mau berkata menunggu dan kesakitan berakhir.
          Kemana?

Bagai angin yang berhembus melewati jendela ruangan yang pengap
Kau pergi bahkan saat aku sangat membutuhkan!
          Kemana?




Entahlah....!

Entah apa pikiranku.
Entah apa isi hatiku.
Entah apa yang kumau.
Entah apa aku begini.
Entah apa dan kenapa.
Entah apa yang harus kulakukan.
Entah apa arti hidupku.
Entah apa dan siapa aku.
Entah apa yang telah terjadi.
Entah apa.
Entahlah....!




Jumat, 05 Februari 2010

Tangisan Diiringi Hujan

Awalnya malam itu hanya kelam.  Semilir angin menggoyang dedaunan perlahan dengan indah. Namun, tiba-tiba gerimis memecah hening.  Tanah mulai basah dan rumah-rumah mulai menutup jendela.  Gemericik suara hujan terdengar risau.  Dari langit, terlihat sebuah rumah tidak menutup jendelanya.  Jendela rumah reyot itu dibiarkan terbuka begitu saja.  Tak ayal, tetesan air hujan masuk membasahi bagian dalam jendela itu.  Rupanya jendela itu, tepat di sebelah meja belajar.  Air hujan membasahi tempat pensil, buku-buku dan peralatan tulis lainnya yang berserakan di sana.  Di atas meja berwarna krem itu tampak bersandar seorang remaja.  Kepalanya menempel pada meja di atas sebuah kertas.  Tangan kanannya memegang sebuah pena. Tangan kirinya terkulai lemah.

Ia menangis.  Kertas di bawah pipinya basah dan koyak.  Entah karena air mata atau air hujan.  Seperti hujan gerimis di luar, air mata itu mengalir.  Dengan sedikit tersedu yang menunjukan betapa dalamnya derita yang ia rasakan, dia menangis tanpa berkedip sambil menatap sebuah foto.  Dalam sebuah bingkai kayu cokelat yang menghiasi gambar dua orang yang beseragam putih abu-abu.  Matanya memandang lekat bersamaan air mata yang terus keluar dari kedua pelupuk matanya.  Air mata itu membuat tulisan di kertas memburam, walaupun masih dapat dibaca apa isinya.

          "Kalau saja...
            Aku tidak bertemu dengannya...
            Mungkin...
            Aku sudah memilih jalan yang lain..."

Kini ia meletakkan kedua tangannya di atas meja.  Kertas itu menjadi sedikit robek.  Ia menunduk bersandar pada lengan.  Tangisannya terdengar lebih dalam.  Lebih menyakitkan.  Tangisan itu tertahan-tahan.  Tangisan itu terdengar sangat pilu.  Siapapun yang melihat atau mendengarnya pasti akan tersentuh hatinya.  Meski orang yang kasar sekalipun.

Ia masih menangis.  Tangisan yang menyayat.  Tapi tangisan itu kalah oleh suara hujan yang kadang diselingi kilat yang menerangi tubuhnya yang kurus.  Ia masih juga menangis.  Sepertinya ia mengalami suatu  hal yang sangat menyedihkan.  Tak ada orang lain di sana.  Ia menangis sendirian.  Menangis sendirian.  Menanggung luka hati yang entah apa.  Rasanya dia benar-benar menderita sekali sampai menangis seperti itu.  Entah kejadian apa yang melukainya.  Entah apa yang begitu menyakitinya.  Yang jelas ia masih tetap menangis.  Luka hati memang tak bisa diobati.

Lalu ia bangun dan mengambil foto itu.  Ia juga mengambil cutter yang tergeletak di samping pensil dan penggaris.  Ia menatap foto itu lagi.  Lalu ia menghela nafas dan memejamkan mata.  Ia menyayat urat nadi tangan kirinya yang memegang foto kemudian ambruk.  Darah mengalir menggantikan air mata.  Darah itu juga membasahi kertas tadi dan menutupi tulisannya.  Tangannya masih menggenggam foto itu.  Hujan masih turun di luar sana.  Seolah ikut bersedih suara hujan terdengar lirih.  Masih terdengar sisa tangisan itu sebelum berhenti sama sekali pada akhirnya.




Senin, 01 Februari 2010

Kata(nya) Sahabat(?)

Kata(nya) sahabat itu setia.
Nyatanya berkhianat.

Kata(nya) sahabat itu selalu ada
Nyatanya  semua masing-masing.
Kata(nya) sahabat itu janji.
Nyatanya tak pernah menepati.

Kata(nya) sahabat itu abadi.
Nyatanya melupakan




Meratapi Nasib

Aku berjalan di atas kaki dan hati yang sangat letih.

Meratapi nasib.

Oh, nasib. Mengapa diriku begitu malang? 

Tapi tak juga kutemukan jawaban dan akhir




Kumpulan isi hatiku yang berserakan

Telanjur banyak pikiran.

Rasanya ingin sekali menangis.

Aku sangat bersedih.

Bukankah hubungan itu juga bisa diputuskan?

Orang yang selalu tertawa bahagia setiap hari memang bisa berkata seperti itu.

Semua telah berakhir. Ingat! Ikatan itu telah diputuskan karena memang tidak ada pengorbanan untuk membuktikan rasa itu.

Bodoh juga ada batasnya. Ikatan yang membosankan itu sudah berakhir. Kau sudah memutuskannya. Kau hanya melakukan apa yang kaumau. Egois sekali. Tidak memikirkan aku. Hanya memikirkan diri sendiri saja. Kesenangan dan kebahagiaan sendiri.

Luka yang harusnya dapat terobati. Luka yang kuharap tak terjadi. Yang membuatku rusak dan hancur. Aku memang berniat mati. Tapi tak juga mati. Padahal aku bosan hidup. Karenamu, denganmu atau tanpamu. Kau bahkan tak ingin kumenyayangimu. Tapi itu bukan salahmu.