Awalnya malam itu hanya kelam. Semilir angin menggoyang dedaunan perlahan dengan indah. Namun, tiba-tiba gerimis memecah hening. Tanah mulai basah dan rumah-rumah mulai menutup jendela. Gemericik suara hujan terdengar risau. Dari langit, terlihat sebuah rumah tidak menutup jendelanya. Jendela rumah reyot itu dibiarkan terbuka begitu saja. Tak ayal, tetesan air hujan masuk membasahi bagian dalam jendela itu. Rupanya jendela itu, tepat di sebelah meja belajar. Air hujan membasahi tempat pensil, buku-buku dan peralatan tulis lainnya yang berserakan di sana. Di atas meja berwarna krem itu tampak bersandar seorang remaja. Kepalanya menempel pada meja di atas sebuah kertas. Tangan kanannya memegang sebuah pena. Tangan kirinya terkulai lemah.
Ia menangis. Kertas di bawah pipinya basah dan koyak. Entah karena air mata atau air hujan. Seperti hujan gerimis di luar, air mata itu mengalir. Dengan sedikit tersedu yang menunjukan betapa dalamnya derita yang ia rasakan, dia menangis tanpa berkedip sambil menatap sebuah foto. Dalam sebuah bingkai kayu cokelat yang menghiasi gambar dua orang yang beseragam putih abu-abu. Matanya memandang lekat bersamaan air mata yang terus keluar dari kedua pelupuk matanya. Air mata itu membuat tulisan di kertas memburam, walaupun masih dapat dibaca apa isinya.
"Kalau saja...
Aku tidak bertemu dengannya...
Mungkin...
Aku sudah memilih jalan yang lain..."
Kini ia meletakkan kedua tangannya di atas meja. Kertas itu menjadi sedikit robek. Ia menunduk bersandar pada lengan. Tangisannya terdengar lebih dalam. Lebih menyakitkan. Tangisan itu tertahan-tahan. Tangisan itu terdengar sangat pilu. Siapapun yang melihat atau mendengarnya pasti akan tersentuh hatinya. Meski orang yang kasar sekalipun.
Ia masih menangis. Tangisan yang menyayat. Tapi tangisan itu kalah oleh suara hujan yang kadang diselingi kilat yang menerangi tubuhnya yang kurus. Ia masih juga menangis. Sepertinya ia mengalami suatu hal yang sangat menyedihkan. Tak ada orang lain di sana. Ia menangis sendirian. Menangis sendirian. Menanggung luka hati yang entah apa. Rasanya dia benar-benar menderita sekali sampai menangis seperti itu. Entah kejadian apa yang melukainya. Entah apa yang begitu menyakitinya. Yang jelas ia masih tetap menangis. Luka hati memang tak bisa diobati.
Lalu ia bangun dan mengambil foto itu. Ia juga mengambil cutter yang tergeletak di samping pensil dan penggaris. Ia menatap foto itu lagi. Lalu ia menghela nafas dan memejamkan mata. Ia menyayat urat nadi tangan kirinya yang memegang foto kemudian ambruk. Darah mengalir menggantikan air mata. Darah itu juga membasahi kertas tadi dan menutupi tulisannya. Tangannya masih menggenggam foto itu. Hujan masih turun di luar sana. Seolah ikut bersedih suara hujan terdengar lirih. Masih terdengar sisa tangisan itu sebelum berhenti sama sekali pada akhirnya.