Minggu, 25 April 2010

Maafkan Aku


Kurasa lebih baik kita tak bertemu lagi.
Aku menulis ini untuk mengatakan itu.
Aku...
Aku sayang padamu.
Dan kau amat berharga bagiku.
Dan aku bermaksud berusaha...
Menjadi seseorang yang berguna agar tak percuma mengaku sahabatmu.

Ternyata aku salah besar.
Sekeras apapun usahaku.
Dan meski aku mengaku sahabatmu.
Aku bukan sahabat bagimu.

Maafkan aku.
Aku sangat kesepian.
Aku tak ingin sendiri.
Aku ingin ada seseorang di sampingku.
Maafkan aku.




Aku mulai layu, hampir mati.


Aku memang bukan penyair.
Tulisanku tidak puitis.
Kata-kataku juga tidak memesona.
Aku hanya ingin menulis agar kau tahu-atau bahkan kau sadar.

Aku mulai layu, hampir mati.

Entah telah berapa lama aku tidak melihatmu.
Aku jadi sangat merindukanmu.
Aku tak bisa tidak memikirkanmu.
Aku sampai selalu memimpikanmu.




Kau Dan Aku Bagaikan Matahari Dan Kehidupan Bumi


Aku bertanya padamu.

Kalau kau tidak melihat cahaya dan ia tidak terlihat, apakah itu berarti matahari benar-benar ada?

Kau menjawab

Mungkin matahari sedang sembunyi di balik awan.

Lalu aku bertanya lagi.

Apa yang akan terjadi jika matahari sembunyi? Tumbuhan mati yang berarti hewan dan manusia akan mati.

Kau menjawab.

Suatu saat nanti awannya pasti akan pergi.

Kemudian aku mengatakan.

Dinosaurus punah karena awan terlalu lama menutupi matahari.

Setelah itu itu aku bertanya lagi.

Apakah matahari memberikan sinarnya untuk kehidupan di bumi karena dia ingin melakukannya atau karena dia harus melakukannya? Atau karena ini adalah takdir?

Kau menjawab.

Karena harus.

Tapi kau juga menambahkan.

Karena takdir.

Dan aku hanya berpesan kepadamu pada akhirnya.

Tetaplah menjadi orang baik.




Cerita Malam


Suatu malam aku terbangun.
Aku berjalan meninggalkan kamarku.
Entah itu nyata.
Atau hanya ada dalam anganku.
Tempat itu sangat gelap.
Benar-benar gelap di tengah kegelapan malam.
Sampai kulihat ada cahaya di satu sudut.
Kupikir aku benar dengan mengikuti arahnya.
Aku sendiri bingung gelap dan sunyi.
Lalu aku mengikuti cahaya itu.
Memang di sana aku mendapat kesenangan.
tapi aku ragu apakah itu baik?
Hati kecil menolak dan ingin pergi.
Tapi kemana aku harus pergi?
Dan akhirnya dalam kesedihan kumemilih kehancuran sebelum aku hancur dengan menyedihkan.




Betapa pilihan menyedihkan!

Hidup adalah pilihan.
Semua orang setuju.
Memilih diantara pilihan yang tersedia.

Lalu, bagaimana kalau tidak ada pilihan yang kau mau?
Kalau semua pilihan akan menyakitkan?
Apa kau akan memilih?
Kau tidak punya pilihan selain yang telah disediakan.

Mungkin kau bisa saja dengan bijak mengatakan pepatah.
Atau menceramahi aku dengan retorika yang indah.
Tapi jika kau tahu apa saja yang bisa kupilih.
Mungkin kau akan memilih mati.

Cobalah mengerti perasaan orang lain.
Hidup dan pilihan setiap orang berbeda-beda.
Kalau kau bisa bicara seenaknya tentang kehidupan seseorang.
Kalau kau bisa seenaknya menganggap orang lain seperti apa.

Padahal kau tidak tahu apapun tentang hidupnya.
Padahal kau tidak merasakan apa yang dialaminya.

Betapa pilihan menyedihkan!




Membosankan

Apa kau tahu bagaimana rasanya?
Sedih...
Sepi...
Sendiri...
Itulah hidupku.
Hidup yang membosankan.

Kesedihan...
Kesepian...
Kesendirian...
Bagaimana seandainya kalau kau merasakan hal itu?
Kukatakan, hal itu sangat menyakitkan.

Apa kau tahu?
Tidak ada yang bisa hidup sendiri.
Tapi tidak ada yang bisa menolak takdir hidupnya.
Kau tidak akan tahu bagaimana rasanya sampai kau merasakan hal itu.
Kuingatkan sekali lagi, hal itu sangat menyakitkan.




Minggu, 18 April 2010

More Fruits of Solitude

Kematian hanyalah sekedar menyeberangi dunia, seperti teman yang menyeberangi lautan; mereka masih hidup dalam diri masing-masing.  Karena mereka perlu ada, cinta dan hidup dalam apa yang tidak terikat ruang dan waktu.  Di dalam kaca Illahi ini mereka saling berhadapan; dan bebas berbicara, karena mereka roh murni. Inilah penghiburan para sahabat, bahwa kendatipun mereka dinyatakan mati, namun persahabatan dan pertemanan mereka, dalam arti yang paing baik, masih selalu ada, karena abadi.


Willian Penn




Rabu, 07 April 2010

Kau Tak Peduli Padaku


Padahal aku selalu merindukanmu.
Padahal aku selalu berdoa demi kebahagiaanmu.
Padahal aku selalu mencemaskanmu.
Padahal aku selalu memikirkan dirimu.
Padahal aku selalu berusaha jadi yang terbaik.
Padahal aku selalu memberikan apa yang kau mau.
Padahal aku selalu melakukan segalanya untukmu.
Padahal aku selalu ada saat kau membutuhkan.
Padahal aku selalu hadir ketika kau panggil.
Padahal aku selalu menyayangimu.
Padahal aku selalu tahu.
Kau tak peduli padaku.




Dimanakah Aku Bisa Temukan Bahagia?

Dimanakah aku bisa temukan bahagia?
Seseorang yang akan ada dalam kehidupanku.
Menemani aku dalam sepi.
Juga bersamaku saat senang.

Dimanakah aku bisa temukan bahagia?
Aku sudah mencoba semua.
Segala hal telah kulakukan.
Bahkan nyawa ini aku relakan.

Dimanakah aku bisa temukan bahagia?
Betapa jauh jarak yang kutempuh untuk menemukannya.
Sebanyak apa yang kumiliki kuberikan agar mendapatkannya.
Namun tetap saja aku begini.

Dimanakah aku bisa temukan bahagia?
Aku tak mau menderita lebih dari ini.
Aku juga ingin bahagia.
Aku ingin bahagia




Lagi

Lagi...
Setiap kesedihan dan kepedihan aku rasakan.
Aku menuangkan isi hatiku ke dalam puisi.
Agar jika suatu saat nanti aku mati, maka orang lain akan mengetahui sesuatu tentang aku.
Tentang orang yang malang.

Aku tersakiti.
Aku terluka karena cintaku.
Rasa sayangku membuat aku seperti berada di neraka dunia.
Penuh penderitaan.
Dan itu amat sangat menyakitkan.

Lalu aku juga tak mampu melepaskan diri dari itu.
Aku hanya menerima hal itu meski sakit dan perih.




Menyisakan Apa Yang Tersisa

Matahari telah tenggelam di kaki langit.
Menyisakan malamyang diiringi hembusan angin dingin.

Sebungkus rokok telah kosong.
Menyisakan abu dan puntung yang berserakan dimana-mana.

Sebotol vodka tergeletak disana.
Menyisakan beberapa tetes isinya di atas meja.

Pertemuan itu juga seperti biasa.
Menyisakan rasa sakit mendalam di hatiku.

Air mataku sudah mengering.
Menyisakan luka yang tak kan sembuh.

Silet yang baru saja kubeli.
Menyisakan darah dan luka di lenganku.

Semua terasa sudah berakhir.
Menyisakan apa yang tersisa.

Harapan ikut pudar.
Menyisakan kehampaan.




Karena itu aku akan menunggu.



Kata yang terakhir tak terucap karena kau pergi begitu saja di hadapanku.
Aku tidak dapat mendengarnya.
Aku telah salah.
Aku tidak perlu mendengarnya dari awal.
Karena jawabannya ada di depan mataku.


Aku tidak salah orang.
Bagaimanapun aku melihatnya.
Kau meninggalkanku.




Aku mungkin punya banyak pertanyaan.

Tidak.!
Aku tidak punya pertanyaan.
Jika kau tidak memberitahuku sampai sekarang kau pasti punya alasan.
Dan aku menghargai itu.
Aku tidak tahu bagaimana aku harus bertanya.
Aku tidak tahu dengan cara apa aku harus bertanya.
Tanpa menyusahkanmu.
Atau membuatmu merasa tidak enak.
Karena itu aku akan menunggu.
Sampai kau ingin mengatakannya padaku.
Sampai kau merasa baik-baik saja mengatakannya padaku.
Sampai kau merasa tidak perlu mengatakannya padaku.


Aku tidak pandai bicara.
Tapi seseorang mengatakan sesuatu padaku tentangmu.
Dan aku merasa tenang setelah mendengarnya.
Terima kasih telah meninggalkanku.


Rasanya...!
Aku telah kembali menjadi aku yang sesungguhnya.